LGBT dalam Rancangan KUHP: Proses dan Kontroversi
Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, mengonfirmasi bahwa aturan pidana terkait LGBT telah dimasukkan ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Informasi ini diperolehnya dari Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, yang menyatakan bahwa draf tersebut sedang dibahas di DPR.
Mahfud menegaskan bahwa saat ini tidak ada dasar hukum untuk menindak individu LGBT, karena asas legalitas mengharuskan adanya aturan tertulis sebelum pelarangan dapat diberlakukan. Ia mencontohkan kontroversi wawancara pasangan LGBT dalam podcast Deddy Corbuzier, di mana masyarakat memprotes tetapi tidak ada pasal yang mengatur tindakan hukum terhadapnya.
Meski UU Perkawinan No. 1/1974 menyatakan perkawinan sesama jenis tidak sah, hal itu tidak serta-merta membuat aktivitas LGBT dapat dikenai pidana. Mahfud mengkritik ahli hukum yang keliru menafsirkan aturan ini sebagai larangan kriminal.
Sejarah Pengaturan LGBT dalam RKUHP
Upaya memasukkan LGBT ke dalam RKUHP sebenarnya telah berlangsung sejak beberapa tahun lalu. Pada 2018, kelompok advokasi meminta penghapusan pasal tentang homoseksualitas karena dinilai multitafsir dan berpotensi diskriminatif. Pasal 495 RKUHP mengancam hukuman penjara hingga 9 tahun untuk hubungan sesama jenis, yang dikhawatirkan semakin menstigmatisasi komunitas LGBT.
DPR dan MUI sempat bersepakat bahwa RKUHP harus mencerminkan nilai agama, sehingga aturan pidana LGBT dianggap perlu. Namun, pembahasan sempat terhambat akibat tekanan dari LSM. Mahfud menyayangkan DPR yang dianggap tidak konsisten dalam menanggapi masukan publik.
Pernyataan Terkini Mahfud
Melalui akun Twitter-nya, Mahfud menegaskan bahwa usulan pelarangan LGBT dan perzinaan sejak 2017 merupakan bagian dari nilai moral keagamaan yang diajukan ke DPR. Namun, hingga kini usulan tersebut belum disahkan, sehingga hanya berlaku sebagai norma sosial dan agama, bukan hukum positif.
Proses revisi KUHP masih menyisakan perdebatan, terutama terkait sejauh mana negara boleh mengintervensi ranah privasi warga berdasarkan pertimbangan moral dan agama.




