Enny Nurbaningsih Bongkar Konsep Ilmu Negara dan Demokrasi dalam Kuliah Daring

Enny Nurbaningsih Bongkar Konsep Ilmu Negara dan Demokrasi dalam Kuliah Daring

pekanbaru,- Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memecah kebekuan diskusi akademis dengan paparan mendalam seputar Ilmu Negara dan Hukum Konstitusi dalam kuliah umum daring Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Sabtu (21/8/2021). Di hadapan mahasiswa baru, Enny menegaskan bahwa kedua mata kuliah ini menjadi fondasi kritis bagi calon ahli hukum.

Ilmu Negara: Teori di Balik Konsep Negara

Enny membuka diskusi dengan menekankan peran Ilmu Negara sebagai "ilmu dasar" yang mengkaji hakikat negara secara universal. "Ini bukan sekadar hafalan pasal, tapi memahami filosofi terbentuknya negara, tujuannya, hingga penyebab runtuhnya suatu bangsa," ujarnya.

Menurutnya, kajian ini bersifat teoritis dan netral—tidak membahas implementasi di negara tertentu, melainkan pola umum seperti bentuk negara, kedaulatan, atau mekanisme kekuasaan. "Contohnya, teori social contract Rousseau atau konsep trias politica Montesquieu bisa diterapkan untuk menganalisis berbagai sistem negara," tambah Enny.

Ia menyoroti kontribusi George Jellinek, pakar hukum Jerman, sebagai bapak Ilmu Negara modern. Dalam bukunya Allgemeine Staatslehre, Jellinek membedakan dua pendekatan:

  1. Staatswissenschaft (ilmu negara deskriptif): Menggambarkan negara berdasarkan geografi, demografi, atau sejarah.

  2. Theoritische Staatswissenschaft (ilmu negara teoritis): Menganalisis konsep abstrak seperti legitimasi kekuasaan atau kedaulatan.

"Jellinek memperkenalkan Teori Dua Segi—negara harus dilihat dari aspek sosiologis (fakta kekuasaan) dan yuridis (hukum yang mengikat)," jelas Enny.

Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat: Antara Ideal dan Realita

Beralih ke Hukum Konstitusi, Enny mengupas demokrasi sebagai "pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat". Namun, ia mengingatkan: "Kedaulatan rakyat tak boleh jadi jargon kosong. Harus ada mekanisme check and balance untuk mencegah kekuasaan absolut."

Ia mencontohkan desain konstitusi Indonesia yang membagi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. "Konstitusi bukan sekadar dokumen, tapi living document yang harus adaptif terhadap dinamika masyarakat," tegasnya.

Enny juga mengkritik praktik demokrasi prosedural yang mengabaikan substansi. "Pemilu lima tahun sekali tidak cukup jika partisipasi publik dalam pembuatan UU masih minim," katanya. Di sinilah, menurutnya, rule of law dan demokrasi harus berjalan beriringan.

Tantangan di Era Digital

Di sesi tanya jawab, Enny menyentuh isu aktual seperti demokrasi digital. "Media sosial bisa jadi alat pengawasan kekuasaan, tapi juga rentan disinformasi yang menggerus kedaulatan hukum," pungkasnya.

Kuliah ini ditutup dengan pesannya agar mahasiswa tak hanya memahami teori, tetapi juga kritis menerapkannya dalam realitas hukum Indonesia yang dinamis.