Aturan Terbaru Pasal Penghinaan Presiden dalam KUHP

Aturan Terbaru Pasal Penghinaan Presiden dalam KUHP

Secara konseptual, Indonesia merupakan negara hukum yang menerapkan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Penegakan prinsip demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia itu tergambar jelas dalam konstitusi yang memberikan kebebasan warga negara untuk berekspresi dan menyampaikan pendapat. Hal tersebut termaktub dalam ketentuan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 jo. Pasal 25 UU HAM.

Kebebasan berekspresi dan mengemukakan berpendapat merupakan bagian dari hak dasar manusia yang diakui masyarakat internasional sesuai Pasal 19 DUHAM(Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948 di Palais de Chaillot, Perancis. Kebebasan berpendapat juga bagian hak asasi manusia bidang sipil dan politik sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 19 KIHSP (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Hak Sipil dan Politik) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU 12/2005.

Salah satu bentuk kebebasan berekspresi dan berpendapat dalam kehidupan bernegara antara lain melakukan kritik terhadap pemerintah atau aparatur/pejabat negara seperti presiden, menteri, anggota DPR dan pejabat negara lainnya.

Harold Crouch menerangkan bahwa ada hak-hak tertentu yang memang baru dapat dinikmati ketika proses demokratisasi telah dimulai seperti hak untuk mengkritik pemerintah apa adanya. Dengan kata lain, hak tersebut hanya dapat terjadi dalam negara yang menganut sistem demokratis. Oleh karena hak sipil politik adalah hak negatif, maka hak-hak dan kebebasan tersebut akan terpenuhi apabila peran negara dibatasi.

Namun, hak atas kebebasan berpendapat merupakan hak asasi manusia yang dapat dikurangi pemenuhannya oleh negara. Pembatasan terhadap hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat itu diatur di dalam Pasal 19 ayat (3) KIHSP yang menyatakan bahwa pelaksanaan hak atas kebebasan berpendapat menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karena itu, dapat dikenai pembatasan tertentu, tetapi hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum dan sepanjang diperlukan untuk:

  1. menghormati hak atau nama baik orang lain;
  2. melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum.

Sebab hak atas kebebasan berekspresi dijamin oleh hukum, lantas apakah mengemukakan kritik yang ditujukan untuk presiden dan/atau wakil presiden dapat dikenai pasal penghinaan presiden?

Pasal Penghinaan Presiden

Pasal penghinaan terhadap presiden sebelumnya diatur di dalam Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan. Namun, pasal penghinaan presiden dibatalkan MK karena telah telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 (hal. 62).

Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa ketentuan pidana penghinaan presiden dalam KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap presiden dan/atau wakil presiden. Hal itu secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan pada suatu saat dapat menghambat upaya komunikasi dan perolehan informasi yang dijamin Pasal 28F UUD 1945 (hal 60).

Selain itu, pasal penghinaan terhadap presiden dan/atau wakil presiden itu bertentangan dengan prinsip kedaulatan berada di tangan rakyat karena pada dasarnya presiden dan/atau wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat sehingga ia bertanggung jawab kepada rakyat. Martabat presiden dan/atau wakil presiden berhak dihormati secara protokoler, namun kedua pemimpin ini tidak dapat diberikan privilege yang menyebabkan memperoleh kedudukan dan perlakuan sebagai manusia secara substantif martabatnya berbeda di hadapan hukum dengan warga lainnya (hal. 59).

Terlebih, ketiga pasal tersebut berpeluang menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan, dan ekspresi tatkala ketiga pasal pidana itu selalu digunakan aparat penegak hukum pada momentum unjuk rasa di lapangan (hal. 60).

Mahkamah Konstitusi juga menilai bahwa ketiga pasal itu juga dapat menjadi hambatan bagi kemungkinan untuk mengklarifikasi apakah presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran Pasal 7A UUD 1945 yaitu melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya. Karena upaya melakukan klarifikasi tersebut dapat ditafsirkan sebagai penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden (hal. 61).

Namun, dalam UU 1/2023tentang KUHP baru yang mulai berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan yaitu tahun 2026 justru mengatur kembali ketentuan pidana atas perbuatan penghinaan atau menyerang kehormatan/harkat martabat terhadap presiden dan/atau wakil presiden.

Hal tersebut termaktub di dalam Pasal 218 dan Pasal 219 UU 1/2023 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 218 UU 1/2023

  1. Setiap Orang yang Di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden dan/atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
  2. Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Pasal 219 UU 1/2023
Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wakil presiden adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri, termasuk menista atau memfitnah.

Namun, dalam Pasal 218 ayat (1) UU 1/2023 tersebut dikecualikan ketika perbuatan itu dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Adapun, yang dimaksud dengan “kepentingan umum” diterangkan dalam Penjelasan Pasal 218 ayat (2) UU 1/2023 yaitu melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi seperti melalui unjuk rasa, kritik, atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan presiden/wakil presiden.

Lebih lanjut, dalam negara demokrasi, kritik menjadi hal penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin bersifat konstruktif, walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan, kebijakan, atau tindakan presiden dan/atau wakil presiden. Pada dasarnya, kritik dalam Pasal 218 UU 1/2023 merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.

Sedangkan, untuk perbuatan dalam Pasal 219 UU 1/2023 yaitu menyiarkan, menempelkan tulisan atau gambar, mendengarkan rekaman dan menyebarkan sarana informasi yang berisikan materi yang menghina atau menyerang kehormatan presiden/wakil presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum tidak terdapat pengecualian seperti Pasal 218 UU 1/2023. Termasuk dalam hal ini tidak ada pengecualian seperti “untuk kepentingan umum” berupa kritik atau menyatakan pendapat yang berbeda dengan kebijakan presiden/wakil presiden.

Adanya perbedaan ketentuan tindak pidana penghinaan presiden dalam Pasal 218 dan 219 UU 1/2023 dapat menimbulkan kesewenang-wenangan penegakan hukum atas dugaan tindak pidana penghinaan presiden/wakil presiden di kemudian hari setelah berlakunya KUHP baru.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa saat ini sampai dengan awal tahun 2026, tidak ada ketentuan pidana terhadap perbuatan penghinaan presiden dan/atau wakil presiden.

Namun, pasca UU 1/2023 tentang KUHP baru mulai berlaku, akan berlaku pula pasal penghinaan presiden/wakil presiden. Akan tetapi, ada pengecualian terhadap perbuatan mengkritik presiden atau wakil presiden yang tidak dapat dikenakan Pasal 218 ayat (1) UU 1/2023.