Tak Transparannya Dana BUMDes, Koperasi, Tanah Kas Desa Simpang Raya, Disulap Untuk Kepentingan Pribadi

Tak Transparannya Dana BUMDes, Koperasi, Tanah Kas Desa Simpang Raya, Disulap Untuk Kepentingan Pribadi
Foto terdakwa Kades dan Bendahara Simpang Raya, Kuansing, Riau

PEKANBARU,- Mantan Kepala Desa Simpang Raya, Kab.Kuantan Singingi, Amran Mangunsong, dan Bendahara Desa, Sri Handayani, didakwa melakukan tindak pidana korupsi dana desa sebesar Rp444 juta dari total Pendapatan Asli Desa sebesar Rp965 juta dalam kurun waktu 2018 hingga 2023.Senin(14/7/2025).

Jaksa Penuntut Umum mengungkapkan bahwa kedua terdakwa diduga menyalahgunakan dana yang bersumber dari BUMDes, hasil penjualan sawit KPUD Tupan Tri Bhakti, serta pengelolaan tanah kas desa. Dana yang seharusnya masuk ke kas desa justru digunakan untuk keperluan pribadi.

Rinciannya, dari sisa hasil usaha BUMDes sebesar Rp276 juta, hanya Rp155 juta yang disetorkan. Kemudian dari hasil penjualan sawit sebesar Rp527 juta, hanya Rp270 juta yang masuk kas desa. Sementara dari hasil pengelolaan tanah desa senilai Rp160 juta, hanya Rp95 juta yang disetorkan.

Sidang lanjutan dugaan korupsi dana desa di Pengadilan Negeri Pekanbaru ini menghadirkan sejumlah saksi dari perangkat desa. Persidangan tersebut menyorot praktik penyetoran dana desa, pengelolaan Tanah Kas Desa (TKD), hingga pencairan insentif kader Posyandu dan RT.

Jaksa Penuntut Umum menggali informasi seputar alur masuknya dana ke rekening kas desa dan keabsahan kegiatan koperasi di desa terdakwa. Terungkap bahwa beberapa dana dari KUD diduga tidak seluruhnya masuk ke rekening desa, dan laporan APBDes dipertanyakan keakuratannya.

Salah satu saksi yang merupakan ketua RT dan Posyandu menyebut insentif kader sempat turun dari Rp100.000 menjadi Rp75.000 sejak pandemi, dengan pola pencairan tiap tiga bulan. Pertanyaan juga diarahkan pada kejelasan manfaat koperasi desa dan pengelolaan hasil sewa TKD, termasuk penanaman jagung, pepaya, dan pisang.

Sidang juga menyoroti dugaan keterlambatan distribusi dana insentif dan pemotongan dana desa yang tidak dilaporkan dalam musyawarah desa. Keterangan para saksi dianggap penting dalam membuktikan penyimpangan anggaran yang menyebabkan kerugian negara.

Para saksi dari Ka.Dusun,RT,Posyandu dan Operator Keuangan Desa

Baca juga: Demi Rupiah, aset negara berupa tanah dijualbelikan oleh BPN dan Lurah di Kab.Inhu

Saksi pertama, Ketua RT 15, menyebut bahwa dirinya rutin menerima insentif dari desa setiap empat bulan sekali sebesar Rp100 ribu per bulan, sama seperti RT dan RW lainnya. Pencairan dilakukan di kantor desa dan dana tersebut diterima langsung dari bendahara desa, yang merupakan terdakwa dalam kasus ini. “Kami dikabari lewat grup WhatsApp. Tidak pernah ada keterlambatan,” ujarnya di hadapan majelis hakim.

Namun, saat pandemi Covid-19, insentif sempat turun menjadi Rp75 ribu per bulan. “Kami tidak menanyakan alasannya. Baru tahun ini dinaikkan jadi Rp150 ribu, tapi baru cair dua bulan,” lanjutnya.

Hal serupa juga disampaikan saksi kedua, seorang kader posyandu desa. Ia menyebut menerima insentif sebesar Rp100 ribu per bulan, yang dicairkan setiap tiga bulan sekali. Dana tersebut juga diterima langsung dari bendahara desa tanpa melalui rekening bank. “Kami tidak tahu sumber uangnya dari mana, tapi memang semuanya menerima jumlah yang sama,” jelasnya.

Dalam sidang yang berlangsung tertib itu, hadir pula saksi ketiga, seorang staf operator desa. Ia memaparkan bahwa dirinya membantu terdakwa bendahara desa dalam menginput data keuangan dan menyusun laporan dari dokumen-dokumen seperti APBDes, RAB, hingga laporan pertanggungjawaban. Menurutnya sumber pendapatan desa berasal dari berbagai alokasi seperti APBD kabupaten, dana bagi hasil, dan pendapatan asli desa termasuk BUMDes dan Koperasi Unit Desa (KUD).

Ia menyebut tak mengetahui nominal pasti uang yang dikelola terdakwa bendahara. Ia juga menyatakan bahwa meski pernah ada keterlambatan gaji perangkat, hal itu bergantung pada waktu transfer dana dari pemerintah kabupaten. “Selama ini tidak ada temuan besar, kalaupun ada audit dari inspektorat, langsung ditindaklanjuti oleh desa,” katanya. Namun ia mengaku tidak tahu soal adanya temuan pemakaian dana sebesar Rp276 juta oleh terdakwa bendahara seperti yang disebut jaksa.

Dalam keterangannya, hakim mengingatkan bahwa tamu dari kecamatan atau kabupaten sebenarnya memiliki anggaran sendiri, sehingga tidak perlu dijamu oleh desa.

Saksi keempat merupakan Kepala Dusun yang telah menjabat sejak 2016, menguatkan kesaksian sebelumnya bahwa kinerja bendahara desa cukup aktif dan baik. Ia mengatakan bahwa selama musyawarah desa, tidak pernah ada penolakan signifikan dari peserta. Hubungan antara kepala desa dan bendahara pun disebut harmonis.

Hakim dan jaksa juga menyoroti peran KUD dan BUMDes dalam menambah pendapatan desa. Koperasi dinilai memberikan manfaat nyata, seperti menjual hasil sawit dengan harga kompetitif hingga mendirikan toko bangunan. Namun jaksa mempertanyakan adanya dana dari hasil sawit KUD yang tidak sepenuhnya disetor ke rekening kas desa. Dari total Rp100 juta, hanya Rp50 juta yang masuk dalam sistem APBDes. Padahal, menurut aturan, seluruh pendapatan desa wajib masuk ke rekening resmi sebelum dibukukan.

Selain itu, BUMDes disebut menjalankan usaha simpan pinjam dan mendirikan “Bumdesmart” serta menyewakan tanah kas desa untuk ditanami jagung dan pepaya. “Yang memungut uang sewa adalah Kaur Pemerintahan. Besarannya sekitar Rp100 ribu per bulan dengan rumus 1/8 hektare,” ujarnya.

Persidangan ini menjadi kunci dalam mengungkap aliran dana yang ditengarai diselewengkan oleh bendahara desa, Sri, yang kini duduk di kursi terdakwa. Jaksa menduga adanya penyimpangan administratif dan pencairan dana yang tak sesuai prosedur.

Reporter : Ishak