Saat Pemerintah dan DPR Masif Koreksi Kritik Publik tentang RUU TNI

Saat Pemerintah dan DPR Masif Koreksi Kritik Publik tentang RUU TNI

Dilansir dari Kompas dalam rentang waktu yang hampir bersamaan, Senin (17/3/2025) pagi, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat sama-sama mengklarifikasi substansi revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau TNI yang menjadi kontroversi publik. Baik pemerintah maupun pimpinan parlemen menegaskan bahwa substansi yang dikhawatirkan masyarakat bakal mengembalikan dwifungsi TNI seperti di era Orde Baru tidak ada dalam naskah rancangan undang-undang. Kekhawatiran publik jadi seolah tak berdasar.

Di Kompleks Parlemen, Jakarta, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad bersama dengan Ketua Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Utut Adianto menggelar jumpa pers. Saat itu, Dasco menjelaskan bahwa dalam beberapa hari terakhir, pihaknya mencermati adanya persebaran draf RUU TNI yang berbeda dengan versi yang sedang dibahas oleh Komisi I DPR.

Dalam versi yang sedang dibahas DPR, kata Dasco, hanya ada tiga pasal yang diubah. Ketiga pasal dimaksud, antara lain, Pasal 3 mengenai kedudukan TNI, Pasal 47 tentang pembatasan jabatan sipil yang bisa diduduki prajurit TNI aktif hanya pada 15 kementerian/lembaga. Revisi lain adalah pada Pasal 53 mengenai usia pensiun prajurit yang diperpanjang, 55 tahun untuk tamtama dan bintara, 58 tahun untuk perwira hingga kolonel, 60 tahun untuk perwira bintang satu, 61 tahun untuk perwira bintang dua, 62 tahun untuk perwira bintang 3.

”Tidak ada pasal-pasal lain yang kemudian (seperti) di draf yang beredar di medsos (media sosial) itu saya lihat banyak sekali dan kalaupun ada pasal-pasal yang sama (dengan) yang kita sampaikan, itu juga isinya sangat berbeda,” tutur Dasco.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengambil draft UU TNI yang akan dibahas dalam konferensi pers mengenai revisi UU TNI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (17/3/2025). Pimpinan DPR bersama Komisi I melakukan konferensi pers terkait revisi Undang-Undang (UU) TNI. Berdasarkan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU perubahan atas UU TNI (RUU TNI) ada tiga poin krusial yang telah disepakati untuk diubah. Ketiga materi krusial itu tertuang dalam Pasal 3 yang mengatur tentang keududukan TNI, Pasal 47 terkait penempatan TNI di kementerian dan lembaga, serta Pasal 53 menyangkut batas usia pensiun. Pembahasan revisi UU TNI ini mendapatkan penolakan dari masyarakat sipil dan akademisi. Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dinilai bertentangan dengan agenda reformasi TNI, yakni mendukung TNI menjadi tentara profesional sebagai alat pertahanan negara, sebagaimana amanat konstitusi dan demokrasi. KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN (FAK) 17-03-2025
KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengambil draf UU TNI yang akan dibahas dalam konferensi pers mengenai revisi UU TNI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (17/3/2025). Pimpinan DPR bersama Komisi I melakukan konferensi pers terkait revisi Undang-Undang (UU) TNI.

Tak hanya Dasco dan Utut, Ketua DPR Puan Maharani pun memberikan keterangan soal substansi revisi UU TNI. Puan menegaskan, hanya ada tiga pasal yang diubah dan tidak ada pelanggaran dalam pembahasannya. Dari ketiga pasal yang direvisi pun, kata Puan, tidak ada satu pun yang terindikasi bakal mengembalikan dwifungsi ABRI seperti di era Orde Baru sebagaimana dikhawatirkan masyarakat selama beberapa waktu terakhir.

Berjarak 3,5 kilometer dari DPR, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi juga memberikan keterangan mengenai hal serupa. Pemerintah dan pihak Istana yang sebelumnya tak banyak berkomentar terwakili oleh pernyataan Prasetyo siang itu. Sama halnya dengan Dasco dan Puan, Prasetyo juga menegaskan bahwa kritik masyarakat sipil terhadap pasal-pasal yang dinilai bakal mengembalikan dwifungsi ABRI itu tidak ada dalam pembahasan.

”Menurut kami, tentunya semua harus lebih teliti lagi dalam memahami isi dari (draf RUU). Kalau sekarang yang beredar, kan, rancangan DIM (daftar inventarisasi masalah), jadi jangan juga apa yang dipolemikkan itu sesungguhnya tidak ada dalam pembahasan. Kita harus waspada, kita harus hati-hati betul, tidak boleh dibentur-benturkan,” ujarnya.

Menurut dia, revisi UU TNI yang tengah dilakukan sudah disesuaikan dengan kebutuhan zaman dan demi penguatan institusi. Pemerintah dan DPR pun justru beritikad untuk membatasi jabatan sipil yang bisa diduduki TNI.

Menteri Sekretaris Negara Prasetyo memberikan keterangan kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (6/11/2024).
Kompas/Nina Susilo
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo memberikan keterangan kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (6/11/2024).

Dalam negara demokrasi, kata Prasetyo, kritik publik merupakan bagian dari dialektika benegara. Akan tetapi, ia menggarisbawahi soal tujuan kritik yang semestinya konstruktif. Penyampaian kritik pun harus secara jelas dan tepat sesuai dengan tahap pembahasan RUU TNI.

”Jangan mempolemikkan yang tidak ada. Tolongah dikurangi energi-energi yang seperti itu,” katanya.

Belum berhenti pada pernyataan Prasetyo, pada Senin petang, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi, saat ditemui awak media di kawasan Menteng, Jakarta, kembali memberikan penegasan soal polemik RUU TNI. ”(Apa yang dikhawatirkan) teman-teman dari NGO, teman-teman aktivis, itu tidak ada. Jadi, pasal yang dicurigai akan ada, ayat yang dicurigai akan ada, itu terbukti tidak ada,” kata Hasan.

Jauh sebelum para pimpinan DPR dan Menteri Sekretaris Negara memberikan keterangan, lanjut Hasan, ia pun telah memberikan pernyataan resmi dari Istana. Ia menjelaskan, pos kementerian/lembaga yang bisa diduduki prajurit TNI aktif sudah dikunci hanya untuk 15 kementerian/lembaga yang memang membutuhkan keahlian tentara.

”Sebenarnya tanggal 11 Maret lalu saya sudah sampaikan itu. Nah, itu statement resmi. Bahwa kecurigaan teman-teman NGO, LSM, itu tidak beralasan karena itu tidak ada,” ujarnya.

Oleh karena itu, kata Hasan, kontroversi terkait RUU TNI yang dikhawatiran akan mengembalikan dwifungsi TNI semestinya mulai reda. Kendati demikian, masyarakat sipil tetap berhak untuk memantau dan mengkritisi proses perumusan undang-undang. Sebab, itu merupakan bagian dari pengawasan publik terhadap perumusan dan pelaksanaan undang-undang.

KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi

Dinamika di medsos

Selain menyampaikan pernyataan secara langsung, Hasan juga membuat cuit di akun X-nya pada Senin siang. ”Setelah konpers di DPR barusan, apakah berlebihan jika kita meminta orang-orang yang mengaku sebagai intelektual, influencer, serta para aktivis, yang sudah menyebarkan provokasi dan narasi bohong soal RUU TNI agar meminta maaf? Kalau mereka ga minta maaf, sebaiknya kita sebut sebagai apa?” tulis Hasan.

Staf Khusus Menteri Komunikasi dan Digital Rudi Sutanto, melalui akun X @kurawa, juga menyinggung soal polemik RUU TNI. ”Ternyata draf RUU TNI yang ada tidak sesuai dengan yang beredar di medsos kemarin. Kena prank lagi aja deh netizen,” cuitnya.

Staf Khusus Menteri Pertahanan Deddy Corbuzier juga membuat video yang menyentil para aktivis yang memprotes pembahasan RUU TNI di Hotel Fairmont, Jakarta, akhir pekan lalu. Dedi menyebut bahwa protes masyarakat yang dilakukan dengan memasuki ruang rapat panja RUU TNI sudah mengarah pada tindakan anarkistis. Sebagai bagian dari pemerintah, pihaknya selalu menghargai dan menerima kritik dari pihak mana pun.

”Tapi, yang terjadi kemarin, bukan termasuk kritik dan masukan yang membangun, tapi merupakan tindakan ilegal dan melanggar hukum,” ujarnya.

TANGKAPAN LAYAR

Beberapa hari sebelumnya, substansi dan pembahasan revisi UU TNI oleh DPR dan pemerintah menjadi kontroversi publik. Masyarakat dari berbagai kalangan menyoroti peluang kembalinya dwifungsi TNI karena adanya perluasan jabatan sipil yang bisa diduduki oleh prajurit TNI aktif. Apalagi, pada substansi yang tersebar di publik, sempat pula terdapat substansi RUU TNI yang menyebut bahwa penempatan prajurit TNI aktif di jabatan sipil bisa disesuaikan dengan pertimbangan Presiden.

Protes semakin keras karena masyarakat kesulitan mendapatkan draf RUU TNI. Mereka tak bisa mengunduhnya langsung di situs DPR, padahal fitur terkait tersedia di sana. Sejumlah proses krusial dalam pembahasan pun berlangsung tertutup.

Kritik terhadap hal tersebut disampaikan dalam berbagai bentuk. Ada kalangan akademisi yang menggelar sejumlah diskusi publik. Masyarakat juga menyebarkan berbagai unggahan menolak revisi UU TNI di medsos, baik dalam bentuk foto, video, maupun narasi tertulis.

Protes semakin keras karena masyarakat kesulitan mendapatkan draf RUU TNI. Mereka tak bisa mengunduhnya langsung di situs DPR, padahal fitur terkait tersedia di sana. Sejumlah proses krusial dalam pembahasan pun berlangsung tertutup.

”Catatan yang menjadi dasar untuk mendorong penghentian pembahasan revisi UU TNI adalah pembahasan RUU yang tidak transparan karena DPR tidak memublikasikan draf RUU TNI kepada publik melalui jalur resminya, termasuk melalui website resmi DPR,” kata Fajri Nursyamsi, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK).

TANGKAPAN LAYAR

Pembahasan yang tidak transparan itu, kata Fajri, berdampak pada masyarakat yang tidak bisa berpartisipasi penuh karena tidak memiliki pengetahuan mendalam akan ketentuan yang sedang dibahas. Hal itu juga memperlihatkan berlanjutnya praktik legislasi yang ugal-ugalan seperti terjadi selama 10 tahun terakhir.

Ketidakpercayaan pada mekanisme demokrasi

Pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Airlangga Pribadi Kusman, menilai, sikap pemerintah dan DPR dalam pembahasan RUU TNI dan saat menghadapi kritik terhadapnya memperlihatkan indikasi kuatnya ketidakpercayaan terhadap mekanisme demokratis. Mereka menunjukkan sikap bahwa mekanisme perumusan kebijakan secara inklusif dengan melibatkan publik dan dilakukan secara transparan tidak dapat membuat kebijakan yang kredibel.

Ketidakpercayaan ini sendiri sekaligus menunjukkan terjadinya pelemahan demokrasi, baik dalam kerja institusional maupun habituasi dari pemerintah dan legislatif.

”Kondisi ini terjadi karena baik pemerintah maupun legislatif sendiri sebenarnya mengakui ada yang bermasalah dalam regulasi tersebut ketika dilihat dari sudut pandang demokrasi terutama nilai-nilai supremasi sipil. Proses legislasinya pun dibuat tidak terbuka,” tuturnya.

Untuk menutupi ketidakpercayaan terhadap mekanisme perumusan kebijakan publik secara demokratis ini, pemerintah dan DPR mengeluarkan narasi yang menyalahkan masyarakat. Padahal, dalam negara demokrasi, kedaulatan rakyat dijunjung tinggi.

Oleh karena itu, apabila pemerintah dan DPR betul-betul memahami dan menyadari demokrasi, mereka tidak akan alergi dengan saran, kritik, dan protes yang justru akan membuat kebijakan publik mendapat legitimasi dari ruang publik.