Beragam Perubahan Signifikan dalam KUHP Baru
Sejak pertama kali digagas perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada tahun 1963 silam, akhirnya pemerintah dan DPR berhasil melahirkan KUHP baru melalui UU No.1 Tahun 2023 tentang KUHP. Beragam dinamika proses perumusan dan pembahasan berujung pada sejumlah perubahan signifikan dari wetboek van strafrecht menjadi KUHP baru.
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia Prof Harkristuti Harkrisnowo, mengatakan KUHP yang diterbitkan 2 Januari 2023 itu memuat perubahan signifikan ketimbang KUHP warisan Belanda. Misalnya, tidak ada lagi kategori ‘kejahatan’ dan ‘pelanggaran’. Selama ini konsep kejahatan sebagai rechtsdelict dan pelanggaran sebagai wetsdelict tidak diterapkan secara konsisten.
KUHP yang berlaku 3 tahun ke depan itu mengatur tentang tindak pidana berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat atau living law. Perempuan yang disapa Prof Tuti itu mengatakan asas legalitas sebagaimana diatur pasal 1 ayat (1) KUHP tetap diakui. Sekaligus mengakui keberadaan living law sebagai dasar untuk memidana sebagaimana diatur dalam Pasal 2 KUHP.
Kendati mengakui living law, Prof Tuti menegaskan bukan berarti hukum adat langsung berubah menjadi hukum pidana. Ada sejumlah kriteria yang harus dipenuhi antara lain hukum adat hanya berlaku di tempat hukum itu hidup. Ketentuan yang diatur dalam hukum adat tidak diatur dalam KUHP sehingga tidak ada duplikasi. Hukum adat itu juga harus sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, konstitusi tahun 1945, HAM, dan asas hukum umum yang diakui bangsa.
“Kalau ada delik hukum adat yang tidak sesuai dengan kriteria itu maka tidak boleh dilaksanakan,” kata Prof Tuti dalam kegiatan Forum Sosialisasi KUHP bertema ‘Membumikan KUHP dalam Kancah Nasional’, Selasa (6/06/2023).
Perempuan yang notabene anggota tim permusan Rancangan KUHP (RKUHP) dari pemerintah itu berpendapat, hukum adat yang berlaku harus ditetapkan terlebih dulu dalam Peraturan Daerah (Perda) berdasarkan hasil penelitian empiris. Ancaman sanksi untuk tindak pidana adat dibatasi besarannya yakni setara dengan denda kategori II dalam KUHP atau Rp10 juta.
Kemudian pertanggungjawaban pidana, Prof Tuti menjelaskan perumusan tindak pidana tak lagi secara tegas mencantumkan unsur ‘dengan sengaja’. Setiap tindak pidana dianggap dilakukan dengan sengaja, kecuali ditentukan ada kelalaian/culpa. Selain merumuskan ketidakmampuan bertanggungjawab, ada ketentuan tentang kurang mampu bertanggung jawab sebagaimana diatur Pasal 39 KUHP. Selain itu pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana pun masuk dalam KUHP baru.
Tujuan pemidanaan dalam KUHP juga berubah menjadi pencegahan, pemasyarakatan/rehabilitasi, penyelesaian konflik, pemulihan keseimbangan dan penciptaan rasa aman dan damai serta menumbuhkan penyesalan terpidana. Terkait pidana dan HAM, KUHP mengarahkan pemidanaan tidak ditujukan untuk merdendahkan derajat manusia.
Menurut Prof Tuti, hal itu selaras dengan Convention Against Torture and other Cruel, Unusual and Degrading Treatment or Punishment (CAT) sebagaimana UU No.5 Tahun 1998 tentang
Kemudian pemaafan peradilan (judicial pardon) sebagaimana diatur Pasal 54 ayat (2) KUHP. Prof Tuti menyebut ketentuan itu mengatur hakim dapat memutus perkara tanpa menjatuhkan pidana atau tanpa mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan 5 hal. Pertama, ringannya perbuatan. Kedua, keadaan pribadi pelaku. Ketiga, keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana. Keempat, keadaan yang terjadi kemudian. Kelima, segi keadilan dan kemanusiaan.
Pasal ini merupakan masukan dari protes masyarakat dimana banyak perkara pidana ringan tapi tetap dijatuhi pidana seperti yang dialami Nenek Minah yang mencuri Kakao dan dihukum penjara. “Memberi ruang bagi hakim untuk memaafkan terdakwa untuk kasus-kasus ringan. Ini terobosan,” katanya.
“Kalau terpidana mati selama 10 tahun itu tidak melakukan perbuatan tercela bisa berubah menjadi pidana seumur hidup,” paparnya.
Sementara Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo Usman Kansong, mengatakan salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam mendorong pembaruan hukum yakni melalui revisi KUHP. KUHP perlu selaras dengan dinamika masyarakat yang berkembang saat ini. Sesuai arahan Presiden Joko Widodo tahun lalu yang memerintahkan agar masyarakat mendapat pemahaman dan membuat ruang dialog untuk menjaring masukan terhadap RUU KUHP.




