Beberkan 11 Pasal Bermasalah, YLBHI Minta RUU KUHP Tidak Buru-buru Disahkan

Beberkan 11 Pasal Bermasalah, YLBHI Minta RUU KUHP Tidak Buru-buru Disahkan

Pemerintah dan DPR bersiap untuk segera mengesahkan RUU KUHP. Koalisi masyarakat sipil melihat RUU KUHP yang akan disahkan itu masih memuat berbagai ketentuan yang berpotensi menuai persoalan yang berdampak terhadap masyarakat. Ketua YLBHI, Muhammad Isnur mencatat ada 11 ketentuan RUU KUHP yang masih bermasalah.

Pertama, pasal terkait living law. Ketentuan dalam RUU KUHP terkait living law berbahaya karena berpotensi semakin memudahkan kriminalisasi. Ketentuan living law lebih lanjut akan diatur dalam peraturan daerah. “Perempuan dan kelompok rentan lainnya merupakan pihak yang berpotensi dirugikan dengan adanya pasal ini, sebab selama ini masih banyak terdapat perda diskriminatif,” kata Isnur saat dikonfirmasi, Senin (28/11/2022).

Kedua, ketentuan pidana mati. Isnur menilai legalisasi pidana mati merupakan bentuk perampasan hak hidup yang melekat sebagai karunia yang tidak dapat dikurangi atau dicabut oleh siapapun termasuk negara. Pidana mati harus dihapus karena dalam sejumlah kasus membuktikan pidana mati menimbulkan korban salah eksekusi.

Ketiga, perampasan aset untuk denda individu. Menurut Isnur, hukuman kumulatif berupa denda semakin memiskinkan masyarakat yang sudah miskin. Pasal itu memperkuat posisi penguasa. Hukuman kumulatif merupakan metode kolonial dan menjadi ruang bagi negara untuk memeras rakyat.

Keempat, pasal penghinaan presiden yang selama ini disorot koalisi sebagai pasal anti kritik. Ketentuan itu mengatur masyarakat yang mengkritik presiden dapat dituduh menghina dan berujung pidana. Kelima, begitu juga dengan pasal penghinaan lembaga negara dan pemerintah. “Pasal ini menunjukkan bahwa penguasa negara ingin diagung-agungkan seperti penjajah di masa kolonial,” ujar Isnur.

Keenam, pengaturan contempt of court dalam RUU KUHP memposisikan hakim di ruang persidangan seperti dewa. Padahal selama ini di dalam persidangan masyarakat kerap menemui hakim yang berpihak. Jika aturan ini disahkan, dan pada saat dinilai tidak hormat kepada hakim atau persidangan maka dapat dianggap sebagai penyerangan integritas pengadilan. “Pasal ini berbahaya bagi advokat, saksi, dan korban,” bebernya.

Ketujuh, pasal terkait unjuk rasa tanpa pemberitahuan, menurut Isnur masuk sebagai salah satu pasal RUU KUHP yang anti demokrasi. Ketentuan itu tergolong anti kritik karena masyarakat yang menuntut haknya bisa dijatuhi pidana penjara.

Delapan, pasal yang mengacam pidana terhadap pihak yang melakukan edukasi kontrasepsi. Isnur berpendapat pasal itu berpotensi mengkriminalisasi pihak yang melakukan edukasi kesehatan reproduksi. Ironisnya, pasal ini bisa mengkriminalisasi orang tua atau pengajar yang mengajarkan kesehatan reproduksi terhadap anak.

Sembilan, pasal kesusilaan. Bagi Isnur pasal ini berbahaya karena memposisikan penyintas kekerasan seksual rentan mengalami kriminalisasi. Sepuluh, pasal terkait pidana agama. Ketentuan itu akan mengekang kebebasan untuk menganut agama dan kepercayaan. Harusnya urusan agama adalah urusan individu yang sifatnya personal. “Jika RUU KUHP disahkan, maka urusan transenden seperti agama bisa menjadi urusan publik,” urai Isnur.

Tak hanya memuat pasal bermasalah, Isnur mencatat proses pembahasan RUU KUHP tidak partisipatif dan harus melalui proses diskusi lanjutan. DPR dan pemerintah lebih baik tidak terburu-buru mengesahkan RUU KUHP sebelum masa reses. Harus dibuka ruang yang luas untuk melakukan diskusi mendalam bersama berbagai ekemen masyarakat.

“Untuk itu, DPR dan pemerintah harus mencabut pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP karena tidak jelas parameternya dan berpotensi menjadi pasal karet,” tegas Isnur.

Diantaranya Fraksi Demokrat dan Fraksi PKS tetap menolak sejumlah ketentuan dalam draf RUU yang bertentangan dengan proses demokratisasi, khususnya jamiman hak kebebasan berpendapat/berekspresi dan pemajuan hak-hak sipil.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Prof Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan pembahasan RUU KUHP membutuhkan waktu panjang dalam pembicaraan tingkat pertama. Tapi setelah rampung, seluruh fraksi telah memberikan persetujuan agar RKUHP diboyong ke dalam rapat paripurna untuk pengambilan keputusan tingkat II alias disahkan menjadi UU.

Dia yakin DPR memiliki pandangan yang sama dengan pemerintah agar RUU KUHP dapat segera disahkan menjadi UU sebagai wujud kemanfaatan dan keadilan bagi masyarakat dan negara. Dengan disetujuinya RUU KUHP menjadi UU nantinya menjadi peletak dasar bangunan sistem hukum pidana guna mewujudkan misi dekolonialisasi KUHP serta adaptasi perkembangan hukum pidana. Termasuk perkembangan standar hukum yang hidup sebagai kedaulatan yang bertanggung jawab